Rabu, 03 Mei 2017

MUARA TAKUS, KOTA PEMERINTAHAN KERAJAAN SRIWIJAYA




“Candi muara takus”  
Kerajaan Sriwijaya yang terbesar di Asia Tenggara, karena memiliki daerah jajahan yang luas, antara Laut Natuna, Semenanjung Malaya, Tanah Genting Kra, Selat Malaka, Laut Jawa, Linggor, Kelantan, Pahang, Jambi Dan Selat Sunda.

Bagi orang Riau mungkin tidak asing lagi objek wisata Candi Muara Takus. Candi ini terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak dari ibu kota provinsi lebih kurang 135 meter. Candi muara takus memiliki 4 candi didalamnya Candi Mahligai, Candi Tua, Candi Bungsu, dan Candi Palangka.
“Candi Muara Takus” jika kita melihat sekilas, mungkin ini hanya berupa bangunan kuno yang kecil, yang nilai sejarahnya tidak terlalu diminati dan pastinya belum bisa menandingi besar dan megahnya candi-candi yang ada di Jawa, seperti Candi Prambanan, Borobudur, Sewu, Kalasan dan lain-lain. 
Sebagai pendidikan sejarah , saya akan berikan gambaran tentang candi muara takus ini. Candi Muara Takus Ini Adalah Hasil Kebudayaan Dari Kerajaan Yang Terbesar Di Asia Tenggara. Kerajaannya bernama Kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya berasal dari kata Sri (cahaya) dan Wijaya ( kemenangan). Kerajaan ini berdiri pada abad ke 7 tersebut selalu berpindah-pindah pusat pemerintahannya. Semula ibu kotanya terdapat di Muara Takus ( Riau Daratan) kemudian di Jambi dan berahir di Palembang. Sebagai ibu kota kerajaan yang terbesar, tentunya kita bisa membayangkan bagaimana aktivitas kerajaan waktu itu. Tentunya sangat membuat kita bangga akan nilai sejarahnya. 
Berbicara masalah kerajaan Sriwijaya, tentu kita tidak bisa melepaskan dari kegiatan maritimnya. Karena terletak dijalur perdagangan, sehingga Pelabuhannya disinggahi oleh negara-negara yang ikut melakukan aktivitas perdangan, ada Cina, India, Arab, Persia, dan tentunya nusantara kita sendiri.  Armada laut kerajaan ini sangat tidak diragukan lagi, sehingga kerajaan Sriwijaya menjadi dikenal oleh negara-negara asing dunia dan secara tidak langsung nusantara mulai dikenal oleh dunia. Pada akhirnya aktivitas inilah yang membawa Islam masuk ke nusantara. Hebat kan? 
Aktivitas perdangan juga berdampak kepada aspek pendidikan. kerajaan sriwijaya ini juga mengirim utusannya untuk mengajarkan pendidikan (agama budha) sampai keluar negri. Dan tidak jarang kita temui, banyaknya para pelajar dari luar negri yang melakukan pendidikan di tanah Sriwijaya ini.
Tidak selamanya kebudayaan yang besar itu dilihat dari hasil yang besar juga. Nah itulah sebuah perumpamaan
jika kita melihat sejarah kerajaan Sriwijaya yang 
hasil kebudayaannya seperti Candi Muara Takus.

Kerajaan yang megah itu sekarang hanya tinggal nama dan menjadi cerita sejarah. Namun, kita masih bisa melihat bukti dan hasil kebudayaannya berupa Candi-Candi, Prasasti dan Arca. Untuk di daerah Riau, yaitu Candi Muara Takus.

Selain di muara takus, ada juga Candi Kota Mahligai, Candi Kedaton, Candi Gendong, Candi Gempung, Candi Tinggi, dan lain-lain yang terdapat di Jambi, Bengkulu dan Sumatra Selatan. Selain candi juga terdapat arca budha siguntang dan banyak prasasti-prasasti lain seperti :
·        Prasasti Kedukan Bukit
·        Prasasti Talang Tuo
·        Prasasti Kota Kapur
·        Prasasti Karang Birahi
·        Prasasti Linggor
·        Prasasti Telaga Batu
·        Dan Prasasti Nalanda
Prasasti itu menuliskan tentang penaklukan-penaklukan daerah, peristiwa serta sejarah dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti itu dituliskan dengan tulisan Aksara Pallawa menggunakan Bahasa Melayu Kuno.
Menurut catatan sejarah, kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Balaputradewa. Dibawah pemerintahannya, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Raja Balapala dari Kerajaan Pala (India) hubungan baik tersebut memiliki tiga tujuan utama. Yaitu: membentengi kerajaan sriwijaya agar lebih kuat, meningkatkan hubungan perdangan dan memperdalam ilmu pengetahuan budha karena di India telah berdiri perguruan tinggi Nalanda.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa hasil kebudayaannya tidak sebesar Candi Prambanan dan Borobudur? Mengapa jenis batunya tidak sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bisa dilihat di artikel saya sebelumnya.

Itulah sepintas sejarah yang bisa saya berikan, sebenarnya yang paling penting disini adalah bagaimana kita sebagai generasi penerus, mencintai apa yang telah di wariskan kepada kita, menjaga dan merawat situs sejarah serta belajar dari sejarah membuat kita akan bijak dalam melangkah. Sang proklamor pernah berpesan, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Jika penerus bangsa saja sudah tidak menghargai sejarahnya, bagaimana bangsa kita akan  “besar”.

Ayo kita kunjungi hasil kebudayaan bangsa kita, ayo cintai sejarah kita, ayo kita rawat sejarah kita. Kalau bukan kita siapa lagi? kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Sumber:
Krisna Bayu Adji. 2014. Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Yogyakarta: Araska.
George Coedes. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu Budha. Jakarta: KPG(Gedung Populer Gramdia)




3 komentar: