“Candi
muara takus”
Kerajaan
Sriwijaya yang terbesar di Asia Tenggara, karena memiliki daerah jajahan yang
luas, antara Laut Natuna, Semenanjung Malaya, Tanah Genting Kra, Selat Malaka,
Laut Jawa, Linggor, Kelantan, Pahang, Jambi Dan Selat Sunda.
Bagi
orang Riau mungkin tidak asing lagi objek wisata Candi Muara Takus. Candi ini
terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Jarak dari ibu kota provinsi lebih kurang 135 meter. Candi muara
takus memiliki 4 candi didalamnya Candi Mahligai, Candi Tua, Candi Bungsu, dan
Candi Palangka.
“Candi
Muara Takus” jika kita melihat sekilas, mungkin ini hanya berupa bangunan kuno
yang kecil, yang nilai sejarahnya tidak terlalu diminati dan pastinya belum
bisa menandingi besar dan megahnya candi-candi yang ada di Jawa, seperti Candi
Prambanan, Borobudur, Sewu, Kalasan dan lain-lain.
Sebagai pendidikan
sejarah , saya akan berikan gambaran tentang candi muara takus ini. Candi Muara Takus Ini Adalah Hasil
Kebudayaan Dari Kerajaan Yang Terbesar Di Asia Tenggara. Kerajaannya bernama
Kerajaan Sriwijaya.
Sriwijaya
berasal dari kata Sri (cahaya) dan Wijaya ( kemenangan). Kerajaan ini berdiri
pada abad ke 7 tersebut selalu berpindah-pindah pusat pemerintahannya. Semula
ibu kotanya terdapat di Muara Takus ( Riau Daratan) kemudian di Jambi dan
berahir di Palembang. Sebagai ibu kota kerajaan yang terbesar, tentunya kita
bisa membayangkan bagaimana aktivitas kerajaan waktu itu. Tentunya sangat
membuat kita bangga akan nilai sejarahnya.
Berbicara
masalah kerajaan Sriwijaya, tentu kita tidak bisa melepaskan dari kegiatan
maritimnya. Karena terletak dijalur perdagangan, sehingga Pelabuhannya
disinggahi oleh negara-negara yang ikut melakukan aktivitas perdangan, ada Cina,
India, Arab, Persia, dan tentunya nusantara kita sendiri. Armada laut kerajaan ini sangat tidak diragukan lagi, sehingga kerajaan
Sriwijaya menjadi dikenal oleh negara-negara asing dunia dan secara tidak
langsung nusantara mulai dikenal oleh dunia. Pada akhirnya aktivitas inilah
yang membawa Islam masuk ke nusantara. Hebat kan?
Aktivitas
perdangan juga berdampak kepada aspek pendidikan. kerajaan sriwijaya ini juga
mengirim utusannya untuk mengajarkan pendidikan (agama budha) sampai keluar
negri. Dan tidak jarang kita temui, banyaknya para pelajar dari luar negri yang
melakukan pendidikan di tanah Sriwijaya ini.
Tidak
selamanya kebudayaan yang besar itu dilihat dari hasil yang besar juga. Nah
itulah sebuah perumpamaan
jika kita
melihat sejarah kerajaan Sriwijaya yang
hasil
kebudayaannya seperti Candi Muara Takus.
Kerajaan yang megah itu sekarang hanya tinggal
nama dan menjadi cerita sejarah. Namun, kita masih bisa melihat bukti dan hasil
kebudayaannya berupa Candi-Candi, Prasasti dan Arca. Untuk di daerah Riau,
yaitu Candi Muara Takus.
Selain di
muara takus, ada juga Candi Kota Mahligai, Candi Kedaton, Candi Gendong, Candi
Gempung, Candi Tinggi, dan lain-lain yang terdapat di Jambi, Bengkulu dan Sumatra
Selatan. Selain candi juga terdapat arca budha siguntang dan banyak
prasasti-prasasti lain seperti :
·
Prasasti Kedukan Bukit
·
Prasasti Talang Tuo
·
Prasasti Kota Kapur
·
Prasasti Karang Birahi
·
Prasasti Linggor
·
Prasasti Telaga Batu
·
Dan Prasasti Nalanda
Prasasti itu menuliskan tentang
penaklukan-penaklukan daerah, peristiwa serta sejarah dari Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti itu dituliskan dengan tulisan Aksara Pallawa menggunakan Bahasa Melayu
Kuno.
Menurut catatan sejarah, kerajaan ini mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Balaputradewa. Dibawah
pemerintahannya, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Raja Balapala dari
Kerajaan Pala (India) hubungan baik tersebut memiliki tiga tujuan utama. Yaitu:
membentengi kerajaan sriwijaya agar lebih kuat, meningkatkan hubungan perdangan
dan memperdalam ilmu pengetahuan budha karena di India telah berdiri perguruan
tinggi Nalanda.
Lalu
muncul pertanyaan, mengapa hasil kebudayaannya tidak sebesar Candi Prambanan
dan Borobudur? Mengapa jenis batunya tidak sama? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, bisa dilihat di artikel saya sebelumnya.
Itulah sepintas sejarah yang bisa saya berikan,
sebenarnya yang paling penting disini adalah bagaimana kita sebagai generasi
penerus, mencintai apa yang telah di wariskan kepada kita, menjaga dan merawat
situs sejarah serta belajar dari sejarah membuat kita akan bijak dalam
melangkah. Sang proklamor pernah berpesan, bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai sejarah. Jika penerus bangsa saja sudah tidak menghargai sejarahnya,
bagaimana bangsa kita akan “besar”.
Ayo kita kunjungi hasil kebudayaan bangsa kita,
ayo cintai sejarah kita, ayo kita rawat sejarah kita. Kalau bukan kita siapa
lagi? kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Sumber:
Krisna Bayu Adji. 2014. Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Yogyakarta: Araska.
George Coedes. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu Budha. Jakarta: KPG(Gedung Populer
Gramdia)
like nona Riau
BalasHapuslanjutkan nona adonara e...
HapusOK I
BalasHapus