Saya
Bisa Bahasa Marae
Masih
teringat di ingatan ketika saya mengajar di salah satu sekolah dari ratusan ribu
Sekolah Dasar yang ada di Indonesia. Namanya SDN Nokarwek, yang terletak di
Dusun Purlolo, Desa Loonuna, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu,
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasinya berada di batas negara Indonesia- Timor
Leste. Jaraknya sangat dekat, masih satu tanah dan bahasanya pun masih sama. Jadi
masyarakat dengan mudahnya untuk keluar masuk negara.
Kami
di tempatkan di Posyandu, kalau dilihat lokasi dekat dengan sekolah, dekat
dengan kantor desa, dekat dengan paud, dekat dengan rumah Pak Sekdes, dan dekat
dengan rumah kepala desa kebetulan istri bapak desanya adalah Kepala Sekolah kami.
Tetapi kami jauh dengan perumahan masyarakat/anak-anak.
Dalam
masyarakat, masih banyak yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Apalagi anak-anak
kecil ataupun para orang tua. Jadi untuk melaksanakan kehidupan di masyarakat
tentunya kami harus belajar bahasa yang dipakai oleh masyarakat. Marae. Marae adalah
nama bahasa yang digunakan, sebenarnya masih ada lagi bahasa yang lain yaitu
tetun. Tetapi disini, maraelah yang sering digunakan untuk kehidupan
sehari-hari.
Saya
memiliki rekan seperjuangan, namanya Risa, Risa Alhidayah. Risa berasal dari jurusan matematika Universitas Riau.
Jadi setiap berhubungan dengan masyarakat kami selalu bertanya tentang bahasa
dan selalu mencoba untuk mengucapkannya. Walapun, setiap kami mengucapkannya
kami selalu ditertawakan.
Kami
menyadari, tertawa mereka bukan berarti untuk mengejek atau sejenisnya. Ya pastinya
karna lafal yang kami ucapkan tentu belum sebagus masyarakat asli jadinya terdengar lucu. Tapi kepedean
kami yang sok pasti terus membuat kami semangat untuk akrab dengan mereka.
Misalnya:
§
Neto artinya
saya.
§
Eto artinya
kamu.
§
Negohoon
artinya sedang apa.
§
Tiomal gie
artinya mau kemana.
§
Baia tinik
artinya masak nasi.
§
Mele-mele
artinya jalan-jalan.
§
Mak ka nik
artinya pahamkah tidak.
§
Tepel ka nik
artinya betulkah tidak.
§
Kios malgie,
mar malgie arinya mau ke kios, mau kekebun.
§
Pesiar -
jalan, bokot -gendut, unu-diam, ebel-kuat, lugi-kurus, zol-kali, Dan sebagainya.
Selain
itu banyak hal lucu yang terjadi seriing dengan perjalan kami disana. Baik panas
ataupun musim hujan. Perlu diketahui, daerah tempatan kami adalah daerah yang
sangat sulit mendapatkan air. Ketika musim panas, ya kami harus kuatkan tekat
untuk minta air sama masyarakat tentunya dengan menggunakan bahasa marae,
supaya masyarakat tertawa sehingga pada akhirnya dengan senang hati memberikan
sejumlah jergen air untuk kami bawa pulang. Tidak jarang juga kami mendapatkan sesuatu
yang lain, seperti sayur, lombok, labu, jagung, dll. Ya tentunya berkat bahasa
Marae.
Nah,
kisah lain jika memasuki musim hujan. Jika aktivitas orang pada umumnya kalau
hujan akan masuk rumah, nah berbeda dengan kami. Jika hujan saatnya kami keluar
rumah, untuk bersiap-siap untuk menimba air sebanyak-banyaknya. Sampai-sampai
botol minumpun tidak luput menjadi sasaran tampat cadangan air.
Seingin
berjalannya waktu, kamipun sudah mulai bisa berbicara dan memahaminya walaupun
tidak terlalu baik. Tetapi paling tidak cukup memberikan kami rasa cinta akan
bangsa ini. Bangsa yang punya aneka ragam budaya, suku dan bahasa.
@@@ Dengan pengalaman ini tentunya kami
mengucapkan Terimakasih untuk bapak Desa/Mama Kepala, Pak Sek/Buk Sek, Bu
Linda, Bu Lutvi, Bu Emi, Mak Rosa, Pak Marsel (Dua-Duanya), Pak Bosco , Eme
(Alm)/Ama, masyarakat. Dan tentunya anak-anak (enjel, santri, ernes, fiki, selfi,
ana, damarista, ikun, sander dan banyak lagi yang tidak bisa ibu sebutkan) atas
bantuan untuk mengajari mak ibu berdua untuk bisa berbahasa Marae.
(mudah-mudahan selalu ingat walaupun tidak pernah diucapkan lagi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar